BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil didalam
masyarakat tetapi menempati kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian
keluarga disini berarti nuclear family yang terdiri dari ayah, ibu dan
anak. Ayah dan ibu secara ideal tidak terpisah tetapi bahu-membahu dalam
melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua dan mampu memenuhi tugas sebagai
pendidik, dan setiap eksponen keluarga melaksanakan fungsinya masing-masing.
Keluarga merupakan tempat pertama anak-anak mendapat
pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian
hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spritual. Seperti
juga yang dikatakan oleh Malinowski (Megawangi, 1999) tentang “principle of
legitimacy” sebagai basis keluarga, struktur sosial (masyarakat) harus
diinternalisasikan sejak individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan
memahami posisi dan kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya
dalam masyarakat
kelak
setelah ia dewasa. Dengan kata lain, keluarga merupakan agen terpenting yang
berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan
lingkungan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan satu fungsi tertentu bukan yang
bersifat alami saja melainkan juga adanya berbagai faktor atau kekuatan yang
ada di sekitar keluarga, seperti nilai-nilai, norma dan tingkah laku serta
faktor-faktor lain yang ada di masyarakat.
Awal mula terbentuknya suatu keluarga didasari oleh
kebutuhan dasar setiap individu. Rogers (Calvin dan Gardner, 1993) mengatakan
setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan,
penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Kebutuhan ini disebut need
for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional
positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak
bersyarat). Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah
pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Kebutuhan inilah yang
diharapkan individu dapat terpenuhi dalam membangun suatu keluarga. Dengan
perkawinan yang harmonis maka kebutuhan kebutuhan tersebut akan terpenuhi.
Karena itulah pada dasarnya setiap pasangan menginginkan perkawinan mereka
berjalan lancar. Namun menurut Laswell dan Lobsenz (1987), perkawinan disebut
sebagai hal yang paling sulit “jika mungkin” dinyatakan sebagai usaha sosial.
Mengarah pada seberapa baik kebanyakan orang mempersiapkannya dan seberapa
besar harapan mereka terhadap hal tersebut, gambarannya seringkali tidak
terbukti benar. Pada kenyataannya memang tidak sedikit pasangan suami istri
yang ”gagal” mempertahankan keutuhan rumah tangganya.
Broken
home biasanya digunakan untuk
menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua kita tak lagi peduli
dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian
terhadap anak-anaknya, baik masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan
pergaulan kita di masyarakat. Namun, broken home bisa juga diartikan dengan
kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang
rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan
yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian dan akan sangat
berdampak kepada anak-anaknya khususnya remaja. Oleh karena itu perlunya
pengetahuan tentang broken home. Dan pada makalah ini penulis akan membahas
masalah keluarga broken home serta apa saja yang berkaitan dengan masalah
keluarga broken home.
1.2 Permasalahan
Yang Dihadapi
1.
Apa
pengertian Broken Home ?
2.
Apa
saja faktor-faktor penyebab Broken Home ?
3.
Apa saja dampak Broken Home terhadap
Perkembangan Anak (remaja)
4.
Bagaimana
cara mengatasi kelurga yang Broken Home ?
5.
Bagaimana
cara meminimalisir dampak negatif terhadap Anak (remaja) broken home
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Broken Home ?
2.
Untuk
mengetahui apa saja faktor-faktor penyebab Broken Home ?
3. Untuk mengetahui apa saja dampak broken
home terhadap Perkembangan Anak (remaja)
4.
Untuk
mengetahui bagaimana cara mengatasi keluarga yang broken home ?
5.
Untuk
mengetahui bagaimana cara meminimalisir dampak negatif terhadap Anak (remaja)
broken home
1.4 Manfaat
Penulisan
Dalam
pembuatan makalah kali ini diharapkan untuk semua masyarakat menyadari bahwa
bahaya dari sifat broken home itu sendiri agar anggota keluarga kita tidak
terkena atau terpengaruh dari sifat itu. Oleh karena itu diharapkan agar semua
masyarakat memperhatiakan satu sama lain antara anggota keluarga jika ingin
keluarga kita sendiri lepas atau tidak berhubungan sekali denga yang namanya broken
home.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian
dan Keadaan Keluarga Broken Home
Tak luput dari realitas bahwa semakin hari, faktanya semakin
banyak keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya mungkin
disebabkan perbedaan prinsip hidup, dan diantara lainnya bisa disebabkan oleh
masalah-masalah pengaturan keluarga. Akan tetapi, yang jelas kasus-kasus broken
home itu sama halnya dengan kasus-kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya
multifaktoral. Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami-istri
dalam keluarga broken home telah semakin memburuk. Kedekatan fisikal juga
menjadi alasan bagi pasangan suami istri dalam menyikapi masalah broken home,
meskipun dalam beberapa sumber disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak
mempengaruhi kedekatan personal antarindividu. Inti dari semuanya adalah
komunikasi yang baik antarpasangan. Dalam komunikasi ini, berbagai faktor
psikologis termuat di dalamnya, sehingga patut mendapat perhatian utama.
Memburuknya komunikasi diantara suami istri ini seringkali
menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Hartley (1993) melalui Sarwono
menjelaskan peranan penting rasa saling percaya, saling terbuka, dan saling
suka diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan
ini, kematangan kepribadian menentukan penerimaan peran dari pasangan
komunikasinya (Kabul, 1978). Aspek lain yang penting menurut Hartley adalah
adanya hubungan dua arah dalam komunikasi ini, artinya di sini terjadi saling
pengertian akan makna tersirat dalam komunikasi. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa komunikasi antarpasangan merupakan sarana penting dalam menuju hubungan antarpasangan
yang efektif. Sejalan dengan itu, dorongan berkomunikasi ini merupakan efek
disposisi biologis manusia (Wright, 1989). Dalih mengenai asumsi bahwa
komunikasi merupakan efek disposisi genetis adalah bahwa tiap individu dilahirkan
dengan tipe kepribadian tertentu, baik intovert maupun ekstrovert (Jung,
melalui Hall, 1993). Adanya perbedaan tipe kepribadian inilah yang mengarahkan
perkembangan komunikasi individu. Meskipun demikian, Carl Gustav Jung juga
mengakui adanya pengaruh faktor lingkungan yang membentuk persona individu
dalam prosesnya merespons tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya
komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam
hubungan itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri
pasangannya. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial
termasuk pengabaian afektif (Affective Disregard). Dalam hal ini,
dapat diuraikan bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan
terjadi pelemahan rasa saling menilai secara positif, yang terjadi penilaian
menjadi cenderung negatif antara satu pasangan dengan pasangannya. Dari semua
fenomena di atas, akan bisa berdampak pada perkembangan psikologis anak dalam
keluarga itu. Remajalah yang dalam hal ini sangat rentan. Masa remaja, seperti
yang dikatakan oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian
identitas. Masa remaja ditandai dengan pergolakan internal untuk menemukan
identitas dirinya berkaitan dengan eksistensi hidupnya. Pengaruh faktor broken
home keluarga menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat,
sehingga remaja cenderung mengalami fase kebingungan identitas.
Perkembangan afeksi juga bisa mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian
afek oleh orangtuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan
kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak, sehingga mereka
mungkin mengalami schizoid atau bisa berdampak hingga schizophrenia.
Broken home sebenarnya merupakan realitas yang
cukup berimplikasi negatif bagi perkembangan kepribadian yang sehat, meskipun
kita mengakui peranan lingkungan dalam perkembangan individu. Akan tetapi,
faktor broken home nampaknya memainkan peranan cukup signifikan dalam
beberapa penelitian.
Dalam hubungan keluarga yang sehat, nilai-nilai
subjektivitas antarpasangan harus saling mengakuinya. Jikalau tidak, hubungan
interpersonal keduanya menjadi memburuk dan menyebabkan keretakan dalam
keluarga. Dengan begitu, kedua pasangan telah melebihkan kapasitas egonya saja.
Di sisi lain, Freud dalam psikoanalisisnya menyebutkan pentingnya
keselarasan antara fungsi id, ego, dan superego agar tercipta suatu hubungan
interpersonal yang sehat. Inilah yang seharusnya ada dalam hubungan sebuah keluarga
yang harmonis.
Sebenarnya broken home dapat disebabkan oleh berbagai
faktor. Akan tetapi, yang jelas semua berawal dari rasa ketidakcocokan
antarpasangan suami istri. Peran psikologi nampak jelas dalam realitas ini.
Psikologi mendapat beban berat untuk mencarikan alternatif terhadap masalah
ini. Untuk itu, penulis ingin mengungkap realitas yang ada dalam fenomena broken
home dengan harapan bisa memberikan bahan analisis guna mengembangkan
intervensi yang selayaknya terhadap kasus-kasus broken home yang kian
hari kian meningkat.
Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan
organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya, keluarga
merupakan wadah pertama dan utama yang fundamental bagi perkembangan dan
pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan pertama
mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluargalah yang
mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat,
dan aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan
kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Keluarga juga yang akan menjadi
motivator terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan dukungan dalam
menjalani kehidupan.
Namun, melihat kondisi masyarakat saat ini, fungsi keluarga
sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua anggota keluarga khususnya orangtua
menjadi sibuk dengan aktivitas pekerjaannya dengan alasan untuk menafkahi
keluarga. Peran ayah sebagai kepala keluarga menjadi tidak jelas keberadaannya,
karena seringkali ayah zaman sekarang bekerja di luar kota dan hanya pulang
satu minggu sekali ataupun pergi pagi dan pulang larut malam. Ibulah yang
menggantikan peran ayah di rumah dalam mendidik serta mengatur seluruh
kepentingan anggota keluarganya.
Masalah akan semakin berkembang tatkala ibupun menjadi
seorang wanita pekerja dengan berdalih membantu perekonomian keluarga ataupun
berambisi menjadi wanita karir, sehingga melupakan anak dan keluarganya. Banyak
ditemukan ibu menjadi seorang super woman yang bekerja dua puluh empat
jam sehari tanpa henti, barangkali waktu istirahat ibu hanyalah beberapa jam
dalam sehari. Itupun jika ibu mampu dengan cerdas mengelola waktu bekerja di
luar rumah dan bekerja di rumah tangganya. Ketika ayah dan ibu sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing, lalu ke manakah anak-anak mereka? Anak yang
seharusnya memiliki hak mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.
Kecenderungan yang terjadi, keluarga menjadi pecah dan tidak
jelas keberadaannya. Ketika ayah dan ibu sudah tidak dapat berkomunikasi dengan
baik, karena kesibukan masing-masing atau karena egonya, maka mereka memilih
untuk bercerai. Namun, di saat orangtua dapat mempertahankan keluarganya secara
utuh tanpa ada komunikasi yang hangat antara anggota keluarganya, secara
psikologis merekapun bercerai.
Oleh karena orangtua tidak punya waktu banyak untuk
berdialog, berdiskusi atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Saat
orangtua pulang bekerja, anak sudah tertidur dengan lelapnya dan saat anak
terbangun tidak jarang orangtua sudah pergi bekerja atau anaknya yang harus
pergi ke sekolah. Ketika anak protes dan mengeluh, orangtua hanya cukup
memberikan pengertian bahwa ayah dan ibu bekerja untuk kepentingan anak dan
keluarga juga. Orangtua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti
keinginan anaknya, tanpa mereka sadari bahwa orangtualah yang selalu membuat
anak harus mengerti keadaan orangtuanya.
Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang
berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga
yang tidak utuh, dimana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi
sebagai orangtua yang sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang
semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya. Namun, orangtua seringkali tidak menyadari
kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup.
Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan
dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek
kakeknya.
Perhatian yang diperlukan anak dari orangtuanya adalah
disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung
dengan anak, meski hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan
sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan
keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh, jika temannya mendapatkan
perhatian seperti itu dari orangtuanya, karena zaman sekarang hal tersebut
menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.
Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orangtuanya, dalam
bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi
peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan, ciuman, kecupan, dan
senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak dan membantu
anak dalam menguasai emosinya.
Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman bahwa
dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak tertulis yang harus ditaati dan
disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial,
norma adat atau budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan kepada anak sejak
masih usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin,
diharapkan anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik, khususnya saat anak
mulai mengenal lingkungan selain keluarganya.
Jika anak melanggar norma tersebut, sudah merupakan
kewajiban orangtua sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya untuk memberikan
teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan perkembangan usianya supaya
anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan berperilaku yang sesuai
dengan norma-norma masyarakat.
Dampak dari keegoisan dan kesibukan orangtua serta kurangnya
waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki
karakter mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli
terhadap lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika
bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian
orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak
memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.
Solusi terbaik untuk anak-anak tersebut bukanlah psikolog,
guru dan ulama, melainkan orangtua yaitu ayah dan ibunya di rumah yang dapat
berperan dan berfungsi selayaknya orang tua. Anak-anak tidak akan berbicara
secara verbal mengenai kebutuhan dan keinginan hati kecilnya, tetapi mereka
akan berbicara dalam bentuk perilaku yang diperlihatkannya dalam keseharian.
Alangkah bahagia dan senangnya anak-anak, jika orangtua dapat mengerti dan
memahami fungsi dan peran orang tua sebagaimana mestinya. Andai saja orangtua
dapat mengurangi keegoisannya dan menyisihkan waktu memenuhi kebutuhan
psikologis anak-anaknya, maka anak akan menjadi generasi yang berintelektual
tinggi dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan harapan dan cita-cita
orangtuanya.
2.2 Ciri-Ciri
Psikologis Keluarga Broken Home
Berdasarkan
beberapa asumsi dalam literatur, penulis menemukan bahwa keluarga broken
home bukan hanya keluarga dengan kasus perceraian saja. Keluarga broken
home secara keseluruhan berarti keluarga dimana fungsi ayah dan ibu sebagai
orangtua tidak berjalan baik secara fungsional. Fungsi orangtua pada dasarnya
adalah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai baik-buruk, sebagai
motivator primer bagi anak, sebagai tempat anak untuk mendapatkan kasih sayang,
dan sebagainya. Jikalau fungsi orangtua ini terhambat, maka aspek-aspek khusus
dalam keluarga bisa dimungkinkan tak terjadi.
Pada
hakikatnya, anak membutuhkan orangtuanya untuk mengembangkan kepribadian yang
sehat. Pada masa remaja, berdasarkan asumsi Erickson, remaja memerlukan
figur tertentu yang nantinya bisa menjadi figure sample dalam
internalisasi nilai-nilai remajanya. Dengan tidak berfungsinya peran orangtua
sebagaimana mestinya, maka hal in bisa terhambat. Proses pencarian identitas
dalam kondisi serupa ini bisa jadi meriam bagi remaja itu. Remaja itu
dimungkinkan membentuk kerpibadian yang kurang sehat dengan perasaan
terisolasi. Proses pencarian identitas akan terhambat dan
menimbulkan rasa kebingungan identitas (confused of Identity).
Penambahan juga, remaja itu mungkin bisa mengembangkan perilaku yang delinquency,
atau bahkan patologis, jika keadaan keluarga yang broken home itu
dirasakannya sangat menekan dirinya. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Yeri Abdillah (2003) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa
agresivitas pada remaja dalam keluarga broken home mempunyai taraf lebih
tinggi daripada rekannya yang tidak mengalami kasus broken home.
Masih
banyak kasus lagi yang mungkin dirasakan anak dalam keluarga broken home.
Efeknya akan lebih terasa jika anak berada dalam masa remaja. Masa remaja dalam
psikologi diasumsikan sebagai masa yang penuh dengan strom and stress.
Jikalau dianalisis lebih lanjut keadaan broken home bisa memperburuk
keadaan remaja itu. Keadaan itu akan diartikan sebagai tekanan yang bisa
menjadi sumber awal penyebab patologis sosial.
Cinta adalah suatu perasaan yang tulus terhadap orang yang
dicintai.
mampu memahami mengerti, menyayangi orang yang dicintainya.
berjiwa besar, dan mau membahagiakan orang yang dicintainya (http://mtdw.blogspot.com/2006/04/apa-makna-cinta-cinta-adalah-suatu.html, Disadur tanggal 7 mei 2008). Cinta merupakan suatu perasaan
yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk membahagiakan umatnya. Cinta
merupakan sesuatu yang sakral, suatu perasaan yang selalu digunakan dalam
kehidupan. Kehidupan tanpa cinta seperti ”sayur tanpa garam”. Walaupun cinta
itu mungkin jarang diungkapkan, tetapi cinta itu sebagian besar ditunjukkan
dengan perasaan-perasaan, perhatian-perhatian atau mungkin tindakan-tindakan
yang positif terhadap orang-orang yang dicintai.
Cinta
orangtua tehadap anaknya, dengan bimbingan melalui perasaan dan tindakan
sebagai ungkapan cinta mereka kita sebagainya anaknya akan berkembang lebih
baik. Sebagai manusia sangat wajar jika kita memiliki perasaan cinta itu. Kita
menyayangi sesorang dan mencintainya itu merupakan suatu komitmen untuk
bersamanya dalam mengarungi kehidupan ini, atau paling tidak kita dapat saling
membahagiakan. Cinta juga dapat tumbuh seiring dengan waktu, jika ada perasaan
yang tulus maka awalnya kita menganggap suatu hubungan biasa saja namun seiring
dengan perjalan waktu kita menemukan kecocokan dengan hubungan tersebut, maka
akan tumbuh rasa yang dinamakan cinta.
Cinta
akan datang sekali dalam hidup pada satu pintu hati kita, maka gunakan
kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Dalam perjalanannya cinta itu akan
mengalami banyak sekali rintangan. Seperti halnya perjalanan hidup, akan banyak
mengalami cobaan halangan dan rintangan untuk mencapai kebahagian cinta. Kita
bisa belajar dari rintangan-rintangan itu, sehingga dapat memahami cinta dan
tahu apa yang harus dilakukan demi cinta.
Cinta
orangtua merupakan konsep dasar yang bisa diasumsikan sebagai segala yang
diberikan oleh ayah dan ibu dalam perannya sebagai orangtua terhadap anaknya.
Anak secara umum akan mengidentifikasikan dirinya pada orangtua. Beberapa
penelitian mengidentifikasikan bahwa kelekatan anak hingga remaja pada umumnya
terletak pada orangtuanya. Apabila orangtuanya tidak memberikan kasih sayang
yang cukup kepada anaknya, maka kelekatan itu tidak aka ada. Untuk mendapatkan
sumber kelekatan selain orangtua adalah hal yang rumit. Untuk itu, di sini
peran orangtua secara fungsional merupakan aspek penting dalam perkembangan
anak.
Munculnya
masalah broken home menimbulkan suatu perasaan menyesal pada remaja, dan
melakukan identifikasi ulang. Ketiadaannya dukungan sosial
menyebabkan kurangnya alternatif masukan bagi remaja itu untuk melakukan
reidentifikasinya. Orangtua yang semulanya menjadi teladan, akan dianggap
sebagai pembawa petaka baginya. Dari asumsi ini muncullah rasa ketidakpercayaan
pada diri remaja itu. Munculnya rasa ketidakpercayaan ini menyebabkan cinta
kepada orangtuanya semakin menipis atau berkurang. Kelekatan dengan orangtua
semakin kecil, sehingga asumsi-asumsi negatif kepada orangtua mulai muncul. Dari
asumsi itu muncullah asumsi bahwa orangtuanya sudah tidak menyayanginya lagi.
Perkuatan muncul apabila tidak adanya perhatian secara fisikal yang ditujukan
pada remaja itu.
Pemaknaan
cinta orangtua akan semakin mengarah pada negativitas seiring dengan munculnya
beberapa hal berikut ini:
1. Ketiadaan perhatian fisikal yang
dirasakan oleh remaja dalam keluarga broken home,
2. Konfliks antara orangtuanya dirasakan semakin mengarah pada
egoisme ayah-ibunya tanpa mempertimbangkan eksistensi remaja itu,
3. Kurangnya pemahaman spiritualisme dalam menghadapi kenyataan
hidup berkaitan dengan situasi broken home,
4. Kurangnya sosialisasi dari lingkungan sosialnya untuk
memandang hal itu dari sisi positif, dan
5. Taraf perkembangan sosioemosional yang belum dewasa.
Freud
dalam psikonalisis paradoksnya mengasumsikan bahwa konfliks sebagian besar
hanya muncul dalam taraf ketidaksadaran individu. Meskipun sacara fisikal
terlihat senyum, bukan berarti mood orang itu juga posiitif. Konfliks
internal yang mungkin lebih parah akan muncul dan bermula dari
ketidaksadarannya. Sifat inilah yang menentukan kesadaran manusia berkaitan
dengan ego, ego ideal, superego, dan id-nya. Sistem ini akan berdinamika sesuai
pengalaman. Faktor broken home dapat secara kuat menyebabkan perasaan
subjektif akan cinta orangtua semakin berkurang atau mengarah pada hal negatif.
Bukan tidak mungkin remaja dalam keluarga broken home akan menyalahkan
atau memandang secara negatif terhadap salah satu orangtua atau bahkan kedua
orangtuanya, jika orangtuanya itu dianggap penyebab penderitaan yang
dirasakannya. Ini merupakan suatu bentuk kompensasi tak langsung atas asumsi
subjektif diri remaja itu atas penderitaan yang seharusnya tidak ia dapatkan.
Dalam teori klasik Sigmund Freud, hal ini menyebabkan pemasakan
intrapsikis yang salah, dan dapat mengarah pada suatu bentuk patologis apabila
tidak mendapatkan pemecahan masalah yang efektif.
Remaja
dalam tahapan psikososial Erik H. Erickson disebutkan
adalah masa pencarian identitas. Dalam tahapan ini, peran orangtua dalam
membentuk identitas nampak jelas, apalagi bagi remaja putri (Margareth Rosario,
2007). Remaja putri dalam masa pencarian identitas dirinya sangat bergantung
pada orangtuanya sebagai figur teladan, berbeda pada remaja putra yang lebih
ditentukan oleh peer-group-nya. Fakta penelitian ini sudah seharusnya
mempertimbangkan individual differences, yang menyadari bahwa itu semua
bergantung dan khas pada tiap individu.
2.3 Peran Dukungan Sosial Terhadap
Perkembangan Kepribadian Anak Pada Keluarga Broken Home
Dalam
psikologi individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler (melalui Hall,
1993) disebutkan bahwa lingkungan sosial memainkan peran penting dalam
perkembangan individu dalam rentang yang ada. Manusia pertama-tama dimotivasi
oleh dorongan-dorongan sosialnya. Menurut Adler, pada hakikatnya manusia
merupakan makhluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut
dalam kegiatan sosial, dan sebagainya. Dorongan sosial Adler merupakan
dorongan yang bersifat herediter atau bawaan genetis, yang kemudian mendapat
stimulus-stimulus untuk perubahan perkembangannya dari lingkungan sosialnya. Adler
mengatakan bahwa manusia adalah diri yang kreatif. Psikologi
Individual Adler merupakan kombinasi sistem subjektif yang sangat
dipersonalisasikan, yang menginterpretasikan pengalaman-pengalaman penuh arti.
Sejalan dengan pandangan Soren Kierkegaard bahwa manusia adalah
subjektif, sehingga kebenaran subjektif merupakan hal utama yang pertama.
Adler
juga menambahkan bahwa diri mencari pengalaman-pengalaman yang membantu
pemenuhan gaya hidup sang pribadi yang unik, apabila tak ditemukan, maka diri
akan berusaha menciptakannya. Ini menjelaskan bahwa dukungan sosial sangat
penting bagi remaja dalam keluarga broken home. Dengan adanya dukungan
sosial dari lingkungan sosialnya, maka pengalaman dalam hal problem solving
masalah keluarga yang dihadapinya akan didapatkannya. Masih dalam hal dukungan
sosial, intensi perilaku juga dipengaruhi oleh arah vektor kontinumnya. Arahnya
ditentukan oleh masukan dari agen dukungan sosialnya. Agen yang tepat berarti
agen tersebut dapat memberi masukan saran yang tepat bagi diri itu dan dapat
mengarahkannya untuk menghambat lajunya masalah yang dihadapi agar tidak
semakin memburuk.
Manusia
sebagai diri, menurut Adler merupakan pribadi yang unik yang terdiri
atas konfigurasi unik dari motif-motif, sifat-sifat, minat-minat, dan
nilai-nilai, dimana setiap perbuatan yang dilakukan mencerminkan gaya hidup
yang khas baginya. Manusia menjalani hidupnya dengan motivasi dorongan sosial.
Hilangnya dorongan sosial dapat berakibat munculkan gangguan perkembangan atau
gangguan psikis lainnya.
Adler
juga menjelaskan bahwa manusia lebih didorong oleh harapan-harapan di masa
depan daripada kenangan masa lalunya. Harapan yang pupus akibat broken home
ini, membuat diri remaja itu berupaya untuk melakukan dinamika diri ke arah
kemajuan. Lagi-lagi di sini nampak peran dukungan sosial dalam dinamika diri.
Harapan yang pupus menyebabkan perilaku sekarang menjadi terhambat dengan
adanya broken home. Hilangnya harapan ini akan mempengaruhi perilaku
dalam parameter sejauhmana harapan itu menjadi prioritas hidupnya. Apabila itu
sangat penting bagi dirinya, maka simtom negatif tertentu akan mungkin muncul,
misalnya menjadi suka menyendiri, mudah tersinggung, dan sebagainya. Akan
tetapi, Adler menyebutkan bahwa orang norma pasti dapat membebaskan diri
dari harapan fiktif ini, sehingga diri terbebas dalam menghadapi kenyataan dari
fiktif-fiktif ini. Apabila diri tidak demikian, maka gangguan psikis atau gangguan
perkembangan akan muncul.
Adler
menambahkan setiap diri memiliki kecenderungan untuk mengarah pada superioritas
dengan tiga cirinya yaitu menjadi agresif, bekuasa, dan superior. Superior di
sini bukanlah bersifat individualisme, melainkan sejalan dengan konsep
aktualisasi diri Abraham Maslow. Superioritas merupakan gejala adanya
aktualisasi diri. Ini terjadi pada orang normal. Ketidakberdayaan fisik dan
kelemahan yang tak nampak lainnya menjadi faktor pendukung munculnya perasaaan
inferioritas. Pada remaja dalam keluarga broken home, broken home
ini akan menjadi bahan bagi munculnya rasa inferior pada dirinya, tergantung
sejauhmana masalahnya dirasakan membuat dirinya tak berdaya. Adakah
kompensasinya? Adler menjawab bahwa dari adanya inferioritas itu
muncullah kompensasi atas rasa inferior itu. Metode kompensasi ini diperoleh
selama proses belajar sosialnya terhadap lingkungan, sedangkan pertimbangan
untuk menggunakannya ditentukan secara subjektif oleh diri remaja itu.
Kompensasi yang mungkin muncul adalah semakin melekatnya remaja itu dengan peer-group-nya,
atau menjadi seorang penyendiri, dan peka perasaannya. Adler menyebutkan
bahwa rasa inferior ini muncul bukan sebagai abnormal, melainkan sebagai bentuk
penyempurnaan dalam perkembangan dirinya. Manifestasi atas perkembangan yang
tak dapat dilakukan remaja mengakibatkan adanya gejala abnormalitas, misalnya
gangguan penyesuaian.
Adler
kemudian menekankan peranan dukungan sosial dalam perkembangan diri remaja yang
mengalami broken home. Lingkungan sosial yang mendukung positif menjadi
sumber inspirasi penting bagi individu, sehingga diri mampu mengembangkan
dirinya ke arah kesempurnaan, yang menjadi tujuan perkembangan diri menurut Adler.
Ketiadaan dukungan sosial yang memadai bagi diri menyebabkan semakin besarnya
intensitas inferioritas yang dirasakannya, dan ini dapat mengarahkan pada
gejala keabnormalitasan diri. Akan tetapi, Adler percaya bahwa tiap diri
adalah kreatif untuk mencari alternatif penyelesaian bagi setiap masalah yang
dihadapinya, sehingga apabila abnormalitas itu muncul, maka dapat disimpulkan
bahwa stimulus broken home yang dirasakannya melebihi taraf intensitas
kemampuannya dalam mereduksi masalah.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.
Pengertian Broken Home
Arti broken home dalam bahasa Indonesia adalah
perpecahan dalam keluarga. Broken home dapat juga diartikan dengan kondisi
keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun,
damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang
menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian.
Istilah “Broken
Home” biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang tidak harmonis dan
tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun dan sejahtera akibat sering terjadi
konflik yang menyebabkan pada pertengkaran yang bahkan dapat berujung pada
perceraian. Hal iniakan berdampak besar terhadap suasana rumah yang tidak lagi
kondusif, orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya sehingga
berdampak pada perkembangan anak khususnya anak remaja. Orang tua adalah
panutan dan teladan bagi perkembangan remaja terutama pada perkembangan psikis
dan emosi, orang tua adalah pembentukan karakter yang terdekat. Jika remaja
diharapkan pada kondisi “broken home” dimana orang tua mereka tidak lagi
menjadi panutan bagi dirinya maka akan berdampak besar pada perkembangan
dirinya. Dampak psikis yang dialami oleh remaja yang mengalami broken home,
remaja menjadi lebih pendiam, pemalu, bahkan despresi berkepanjangan. Faktor
lingkungan tempat remaja bergaul adalah sarana lain jika orang tua sudah sibuk
dengan urusannya sendiri. Jika remaja berada di lingkungan pergaulan yang
negatif, karena keadaannya labil maka tidak menutup kemungkinan remaja akan
tercebur dalam lembah pergaulan yang tidak baik.
Broken Home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau
kurangnya kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak
menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Broken home sangat berpengaruh besar
pada mental seorang pelajar hal inilah yang mengakibatkan seorang pelajar tidak
mempunyai minat untuk berprestasi. Broken home juga bisa merusak jiwa anak
sehingga dalam sekolah mereka bersikap seenaknya saja, tidak disiplin di dalam
kelas mereka selalu berbuat keonaran dan kerusuhan hal ini dilakukan karena
mereka Cuma ingin cari simpati pada teman-teman mereka bahkan pada guru-guru
mereka. Untuk menyikapi hal semacam ini kita perlu memberikan perhatian dan
pengerahan yang lebih agar mereka sadar dan mau berprestasi.
3.2
Penyebab Broken Home
Pada umumnya penyebab utama broken
home ini adalah kesibukkan kedua orang tua dalam mencari nafkah keluarga
seperti hal ayah laki – laki bekerja dan ibu menjadi wanita karier. Hal inilah
yang menjadi dasar seorang tidak memiliki keseimbangan dalam menjalankan
aktifitas sehari hari dan malah sebaliknya akan merugikan anak itu sendiri,
dikala pulang sekolah dirumah tidak ada orang yang bisa diajak berbagi dan
berdiskusi, membuat anak mencari pelampiasan diluar rumah seperti bergaul
dengan teman – teman nya yang secara tidak langsung memberikan efek / pengaruh
bagi perkembangan mental anak. Maka dari itu mereka berusaha untuk
mendapatkan perhatian dari orang lain. Tetapi sayang, sebagian dari mereka
melakukan cara yang salah misalnya : mencari perhatian guru dengan bertindak
brutal di dalam kelas, bertindak aneh agar mendapat perhatian orang lain, dll.
Penyebab
timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
a.
Orang tua yang bercerai
Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami
istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan
yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan
kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara
suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu
membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali.
Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar
dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi
sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim
lagi.
b.
Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan
dialog antar anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu
tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh
tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu
terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang
perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan
komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa
anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi
dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal
yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan
masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja.
Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan kehidupan
itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan yang sangat
penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa
kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri
sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya
anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya. Ternyata perhatian
orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum mampu menyentuh
kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan kedudukannya dengan benda mahal
dan bagus. Menggantikannya berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda
mati.
c.
Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada
kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog
juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak.
Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan
pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan
kehendaknya sendiri.
d.
Adanya Masalah
Ekonomi
Adanya Masalah
Ekonomi Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah
tangga. Istri banyak menuntut hal-hal diluar makan dan minum. Padahal dengan
penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya dapat memberikan makan dan rumah
petak tempat berlindung yang sewanya terjangkau. Karena suami tidak sanggup
memenuhi tuntutan istri dan anak-anaknya akan kebutuhan-kebutuhan yang
disebutkan tadi, maka timbullah pertengkaran suami-istri yang sering menjurus
kearah perceraian.
e. Adanya Masalah Pendidikan
Adanya Masalah
Pendidikan Masalah pendidikan sering menjadi penyebab terjadinya brokenhome. Jika
pendidikan agak lumayan pada suami istri maka wawasan tentang kehidupan
keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada suami istri yang
pendidikannya rendah sering tidak dapat memahami lika-liku keluarga. Karena itu
sering salah menyalahkan bila terjadi persoalan dikeluarga. Akibatnya selalu
terjadi pertengkaran yang mungkin akan menimbulkan perceraian. Jika pendidikan
agama ada atau lumayan mungkin sekali kelemahan dibanding pendidikan akan
diatasi. Artinya suami istri akan dapat mengekang nafsu masing-masing sehingga
pertengkaran dapat dihindari.
3.3 Dampak Broken Home Pada
Perkembangan Remaja
Perkembangan Emosi
Emosi Merupakan situasi psikologi yang merupakan pengalaman subjektif yang
dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Perceraian adalah suatu hal yang
harus dihindari, agar emosi anak tidak menjadi terganggu. Perceraian adalah
suatu penderitaan atau pengalaman tramatis bagi anak. Adapun dampak pandangan
keluarga broken home terhadap perkembangan emosi remaja. Perceraian orang tua
membuat tempramen anak terpengaruh, pengaruh yang tampak secara jelas dalam
perkembangan emosi itu membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif)
yang ingin mencari perhatian orang tua / orang lain. Mencari jati diri dalam
suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi. Peristiwa perceraianØ
itu menimbulkan ketidakstabilan emosi. KetidakberartianØ
pada diri remaja akan mudah timbul, sehingga dalam menjalani kehidupan remaja
merasa bahwa dirinya adalah pihak yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini. Ø
Remaja yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua, emosi marahnya akan
mudah terpancing.
Perkembangan Sosial
Remaja Tingkah laku sosial kelompok yang memungkinkan seseorang berpartisipasi
secara efektif dalam kelompok atau masyarakat. Dampak keluarga Broken Home
terhadap perkembangan sosial remaja adalah: Ø Perceraian
orang tua menyebabkan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan dan
kedudukannya, dia merasa rendah diri menjadi takut untuk keluar dan bergaul
dengan teman- teman. Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan.Ø
Anak yang dibesarkan dikeluarga pincang, cenderung sulit menyesuaikan diri
dengan lingkungan, kesulitan itu datang secara alamiah dari diri anak tersebut.
Dampak bagiØ
remaja putri yang tidak mempunyai ayah berperilaku dengan salah satu cara yang
ekstrim terhadap laki-laki, mereka sangat menarik diri pasif dan minder
kemungkinan yang kedua terlalu aktif, agresif dan genit.
3.4 Cara Mengatasi Kelurga Yang Broken
Home
ada
beberapa cara ampuh untuk mengatasi situasi seperti itu.
Hadapi semuanya dengan sikap positif. Tidaklah semua yang terjadi itu merupakan
hal buruk meskipun itu sesuatu yang berdampak negatif ke kita. Kita harus
mencoba menerima keadaan dan berusaha tegar. Hal ini akan membantu kita
mengatasi masalah tersebut.
1.
Berpikir positif
Peristiwa
yang kita alami kita lihat dari sisi positifnya. Karena di balik semua masalah
pasti ada hikmah yang dapat kita petik. Jadikan itu semua sebagai proses
pembelajaran bagi kita sebagai remaja menuju tahap kedewasaan. Jauhkan segala
pikiran buruk yang bisa menjerumuskan kita ke jurang kehancuran, seperti
memakai narkoba, minum-minuman keras, malah sampai mencoba untuk bunuh diri.
2.
Jangan terjebak dengan situasi dan kondisi
Yang
jelas, kita enggak boleh terjebak dengan situasi dan menghakimi orangtua atau
diri sendiri atas apa yang terjadi serta marah dengan keadaan ini. Alangkah
baiknya apabila kita bisa memulai untuk menerima itu semua dan mencoba menjadi
lebih baik. Keterpurukan bukanlah jalan keluar. Sebaiknya sih kita bisa tegar
dan mencoba bangkit untuk menghadapi cobaan ini. Tetap berusaha itu kuncinya.
3.
Mencoba hal-hal baru
Tidak
ada salahnya kita mencoba sesuatu yang baru, asal bersifat positif dan dapat
membentuk karakter positif di dalam diri kita. Contohnya, mencoba hobi baru,
seperti olahraga ekstrem (hiking, rafting, skating atau olahraga alam) yang
dapat membuat kita bisa lebih fresh (segar) dan melupakan hal-hal yang buruk.
4.
Cari tempat untuk berbagi
Kita
enggak sendirian lho, karena manusia adalah makhluk sosial yang hidup
berdampingan dengan orang lain. Mencari tempat yang tepat untuk berbagi adalah
solusi yang cukup baik buat kita, contohnya teman, sahabat, pacar, atau mungkin
juga saudara. Ya… usahakan tempat kita berbagi itu adalah orang yang dapat
dipercaya dan kita bisa enjoy berkeluh kesah dengan dia.
Beberapa
hal di atas dapat dijadikan acuan buat kita karena sebenarnya semua permasalahan
itu ada solusinya.
5.
Enggak perlu panik
Kita
enggak bisa mengelak apabila itu terjadi pada keluarga kita walaupun kita tidak
menginginkannya. Enggak perlu panik ataupun sampai depresi menghadapinya.
Walaupun berat, kita juga musti bisa menerimanya dengan bijak. Karena siapa sih
yang mau hidup di tengah keluarga yang broken home? Pasti semua anak enggak
akan mau mengalaminya.
3.5 Solusi
Meminimalisir Dampak Negatif Terhadap Remaja Broken Home
Tentunya sangat banyak faktor
penyebab remaja terjerumus ke dalam hal - hal negatif dalam masa peralihannya.
Namun, salah satu penyebab utama mengapa remaja seperti itu adalah kurangnya
perhatian dan kasih saying orang tua. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terlalu
sibuknya kedua orang tua mereka dengan pekerjaan, sehingga perhatian dan kasih
sayang kepada anaknya hanya diekspresikan dalam bentuk materi saja. Padahal
materi tidak dapat mengganti dahaga mereka akan kasih sayang dan perhatian
orang tua. Pada dasarnya setiap orang menginginkan pengakuan, perhatian,
pujian, dan kasih sayang dari lingkungannya, khususnya dari orang tua atau
keluarganya, karena secara alamiah orang tua dan keluarga memiliki ikatan emosi
yang sangat kuat. Pada saat pengakuan, perhatian, dan kasih sayang tersebut
tidak mereka dapatkan di rumah, maka mereka akan mencarinya di tempat lain.
Salah satu tempat yang paling mudah mereka temukan untuk mendapatkan pengakuan
tersebut adalah di lingkungan teman sebayanya. Sayangnya, kegiatan-kegiatan
negatif kerap menjadi pilihan anak-anak broken home tersebut sebagai cara untuk
mendapatkan pengakuan eksistensy. Benarkah seluruh fenomena itu sekadar
persoalan psikologis, ataukah justru lebih bercorak sosiologis? Apabila problem
tersebut dilihat dari perspektif psikologistis, maka penilaian yang muncul
adalah kaum remaja tersebut sedang melampiaskan hasrat tersembunyinya. Dalam
bahasa psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), kaum remaja itu lebih mengikuti
kekuatan id (dorongan-dorongan agresif) ketimbang superego (hati nurani).
Keberadaan ego (keakuan) mereka gagal untuk memediasi agresivitas menjadi
aktivitas sosial yang dapat diterima dengan baik dalam kehidupan sosial
(sublimasi). Namun, pendekatan psikologis itu sekadar mampu mengungkap persoalan
dalam lingkup individual. Itu berarti nilai-nilai etis yang berdimensi social
cenderung untuk dihilangkan. Agar para remaja yang sedang mencari jati diri
tidak semakin terjerumus, tentunya diperlukan peranan orang tua. Selain itu,
dibutuhkan pengawasan ketat dari pihak sekolah dan itu menjadi kunci
keberhasilan pencegahan kenakalan remaja baik sebagai akibat broken home maupun
akibat hal lainnya. Peran orang tua di rumah dan peran sekolah menjadi kunci
keberhasilan pencegahan moral remaja akibat pengaruh pergaulan bebas. Kasih
sayang dan perhatian orang tua adalah langkah pertama. Dalam kondisi dan
situasi apapun, orang tua harus selalu mendampingi anak-anaknya. Pasalnya,
sudah banyak korban dari pergaulan bebas adalah anak yang broken home, mereka
mencari pelarian auntuk menghindar dari kenyataan yang dihadapi.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Broken home bukanlah akhir dari segalanya bagi kehidupan kita. Jalan kita masih
panjang untuk menjalani hidup kita sendiri. Pergunakanlah situasi ini sebagai
sarana dan media pembelajaran guna menuju kedewasaan. Ingat, kita tidak sendiri
dan bukanlah orang yang gagal. Kita masih bisa berbuat banyak serta melakukan
hal positif. Menjadi manusia yang lebih baik belum tentu kita dapatkan apabila
ini semua tidak terjadi. Mungkin saja ini merupakan sebuah jalan baru menuju
pematangan sikap dan pola berpikir kita.
4.2.
Saran
1. Jangan menatap masa lalu,
berorientasilah ke masa depan. Masalah perceraian bukan milik Anda, melainkan
milik orang tuan Anda.
2. Tetap berhubungan baik dengan kedua
orang tua, meskipun mereka telah berpisah. Harus tetap menghomati keduanya
dengan segala kondisi yang ada, sekalipun mereka telah gagal dam menjalankan
sebuah rumah tangga
3. Harus pandai dan selektif memilih
teman atau lingkungan pergaulan. Jangan terjebak pada hal-hal yang memperburuk
kondisi Anda sebagai seorang anak broken home.